Sinjai Bersatu,
bersih,elok,rapi,sehat,aman,tekun dan unggul. Demikian visi dari sebuah daerah dengan
luas wilayah ± 800 km2 yang terlingkup dalam Provinsi Sulawesi Selatan.
Terletak di pantai Timur bagian Selatan Kota Makassar. Dahulu menjadi lingkar pusat
pertemuan dua kekuatan antara kerajaan Gowa dan Bone. Letaknya yang strategis
membuat daerah ini memiliki potensi agraris dan maritim. Bagian Selatan dan
Barat merupakan daerah dengan suhu udara yang dingin, karena letaknya berada
diketinggian dekat gunung, sedangkan daerah utara yang berbatasan dengan laut,
memiliki potensi kekayaan ikan yang besar dengan cuaca yang cukup panas.Sinjai memiliki dua jalur
perhubungan yakni darat dan laut. Jalur darat
bisa ditempuh dengan tiga cara yakni melalui jalur selatan melewati Bulukumba,
jalur utara melewati Bone, dan Barat atau Tengah ditempuh dari Gowa–Malino
menyisir kota Manipi. Untuk mencapai kota Sinjai dari Makassar, melalui jalur
darat bisa ditempuh dalam waktu 4-5 jam. Sementara jalur laut, merupakan jalur
yang yang dipakai untuk menghubungkan Sinjai dengan pulau-pulau kecil di sekitarnya
termasuk provinsi di luarnya.
Sinjai dalam beberapa
catatan sejarah merupakan sebuah kerajaan yang terdiri dari tiga kerajaan inti
yakni kerajaan Tondong, Bulo-Bulo, dan Lamatti. I Patongai disebutkan merupakan
anak dari Tomanurung dari Tanralili, yang membuka pertama kali wilayah di
Tonro’e. Kelak daerah ini menjadi cikal bakal peradaban di Sinjai, yang kemudian
lebih dikenal dengan nama Tondong, sedangkan Bulo-Bulo merupakan wilayah yang
lahir dari sebagai pengikut I Patongai yang selanjutnya diberi gelar I Patongai
puanna Bulo-Bulo. Lamati sendiri merupakan buah kebaikan dari kerajaan Luwu
yang diberikan kepada Arung Raja, salah seorang putra dari Raja Bulo-Bulo. Ketiga
kerajaan ini, Tondong, Bulo-Bulo dan Lamati menjadi kerajaan inti, tonggak terbentuknya
persekutuan TelluLimpoe. Selain adanya kerajaan TelluLimpoe, ada juga
kerajaan-kerajaan kecil seperti Kerajaan Manimpahoi, Kerajaan Tarungeng,
Kerajaan Pao dan Kerajaan Manipi. Kerajaan-kerajaan ini semualah yang menjadi penyokong
penting dalam perjalanan sejarah Sinjai, menjadi simpul perdamaian dan
kebersatuan bagi setiap orang .
Sinjai sendiri berasal dari
kata Sija’i (jahitan). Sebagaimana
jahitan ia muncul lalu hilang kemudian timbul di tempat lain. Sifat dari
jahitan yakni mempersatukan dari dua hal yang berbeda. Penamaan ini memiliki
banyak versi cerita, salah satunya dihubungkan dengan kedatangan orang pertama
di daerah ini yaitu Timpange’ Tana atau
biasa juga disebut To Pasaja. Kemunculannya
kala itu sangat singkat, kemudian menghilang lalu muncul di daerah lain. Dari awal
kemunculan To Pasaja ini, maka daerah
yang pertama kali disinggahi saat itu kemudian diberi nama Sanjai,yang selanjutnya seiring dengan perjalan waktu oleh
masyarakat setempat disebut dengan nama
Sinjai.
Sinjai dalam catatan sejarah
pernah mempertemukan dua kerajaan adidaya di Celebes,yakni Kerajaan Gowa dan
Bone. Kala itu kedua kerajaan ini sempat saling urat leher karena memperebutkan
Sinjai sebagai vasal. Berkat kemampuan berbicara Raja Bulo-Bulo ke-6 Lamappasokko Lao Mance
Tauruna , akhirnya berlangsunglah pertemuan antara tiga kerajaan, yakni
kerajaan TelluLimpoe, kerajaan Bone dan kerajaan Gowa. Pertemuan ini kemudian melahirkan
kebaikan di antara ketiganya yang dikenal dengan perjanjian Lamung Patoe ri
Topekkong.
Perjanjian ini memuat tiga
garis besar yang penting. Pertama, bahwa demi kebaikan bersama, rakyat dari
masing-masing kerajaan bebas memilih tempat tinggal dan mencari kehidupan
baginya. Pada dasarnya Gowa dan Bone telah dianggap satu dan bersaudara. Maka
siapa yang membawa hasil panennya ke Gowa adalah rakyat Gowa, yang mengantar
jerih payahnya ke Bone adalah rakyat Bone dan yang memberi kebaikannya ke
TelluLimpoe adalah rakyat TelluLimpoe. Jadi terserah kepada rakyatnya ingin
mencari hidup kemana. Kedua, terkait bilamana kedua kerajaan ini dimusuhi,
maka memusuhi Gowa sama berarti memusuhi
Tellulimpoe dan Bone, begitupun yang memusuhi Bone berarti menjadi musuh
TelluLimpoe dan Gowa pula. dan Ketiga, bahwa setiap kerajaan baik Bone, Gowa
dan TelluLimpoe dalam menghadapi masalah harus sama-sama mencari kebaikan bukan
sebaliknya. Jika salah satu ada yang maju, maka semuanya ikut dan bersama-sama
mencegah kehancuran. Jika diantaranya ada yang lupa sesuatu maka satu dan
lainnya saling mengingatkan.
Demikian Sinjai lahir
sebagai pemersatu diantara kedua kerajaan besar ini. Bukan takluk pada perang, demi mempertahankan
diri, akan tetapi melebur untuk mencari kebaikan diantara keduanya. Mencari
kebaikan menurut orang Sinjai sama dengan memberi kehidupan bagi masyarakatnya.
Memusuhi sama dengan memberi musibah dan kematian pada kaumnya.
Coba dibayangkan andai
ketika itu, TelluLimpoe memaksakan diri, bertahan melawan dua kekuatan adidaya
saat itu. Maka yang terjadi adalah hilangnya nilai luhur, nilai kebaikan, dan
kehidupan bagi masyarakatnya sendiri. Bisa jadi tidak ada lagi kehidupan yang
tertinggal di Sinjai. Bisa jadi yang ditemui adalah gelimang tanah-tanah yang
membuncah menenggelamkan jasad-jasad yang tak tahu menahu tentang apa itu
kekuasaan.
Karenanya dalam jejak
sejarah, manusia belajar tentang kearifan dan kesantunan dalam memimpin. Proses
demokrasi dalam masyarat bugis di Sulawesi Selatan, termasuk Sinjai
dilangsungkan dengan damai. Melalui penundukan secara ikhlas, kepada Tomanurung
dengan niat mendapatkan kebaikan dari Sewata, Puang Allah Ta’ala. Ambisi
kekuasan dengan memilih jalan perang adalah jalan yang kurang bijak, bahwa
bagaimanapun setiap manusia punya hak untuk hidup.
Tanah dan laut terbuka bagi
siapa saja yang ingin mencari kebaikan. Sebab Sewata, memberikannya untuk
menjadi modal kehidupan bagi makhluknya. Atas namaNYA, kepemimpinan dan
kekuasaan adalah mencari kebaikan, bukan musuh apalagi mengambil hak Sewata
untuk membunuh manusia lain.
Sinjai kota Panrita Kitta,
kota yang lahir dari sifat kecendikiawanan sebagai manusia yang berbudi luhur
dengan menjunjung tinggi ade’. Lahir
dari poros kebaikan di antara Luwu, Gowa dan Bone. Nilai ketiganya menyatu
dalam darah membentuk karakter manusia yang ulung dalam intelektualitas,agama,dan
berdiplomasi. Semoga nilai-nilai ini tetap abadi, tidak luntur karena diliputi
oleh ambisi berkuasa apalagi hanya untuk sekedar berpongah-pongah harkat. Raja
adalah pemimpin bukan penguasa, dan rakyat adalah akar-akar dari kepemimpinan.
Bahwa tiada gading yang tak retak, maka sudah tugas manusialah untuk saling
mengingatkan.
Tea temmakkua fada idippa
najaji.
Komentar
Posting Komentar