Langsung ke konten utama

Hukum Adat di Sulawesi Selatan


Warisan hukum yang tertua di Indonesia adalah hukum adat,maka di Sulawesi Selatan inipun dikenal satu sistem adat yang disebut sistem pangngaderreng atau pangngadakkang.
Sistem ini mengatur mereka hampir di seluruh aspek kehidupan. Mulai dari  adat-istiadat, politik, agama, sosial dan hukum. Sistem pangngaderreng (pangngadakkang) ini mengakar dalam hati tiap orang karena terlahir dari proses budaya yang panjang. Olehnya dalam penerapannya masyarakat menjalankannya karena kesadaran yang hadir dalam diri mereka, bukan karena suatu kewajiban atau paksaan.
Orang Bugis-Makassar menaati aturan-aturan ini dan yang melanggarnya akan mendapat hukuman. Hukuman yang diberikanpun berbagai macam, ada yang mendapatkan semacam hukuman fisik dan moral sesuai dengan tingkat pelanggaran mereka terhadap pangngaderreng.
Ketaatan mereka terhadap panggaderreng dilandaskan pada siri na passé yang mereka pegang kokoh. Siri ini merupakan suatu perasaan malu yang sangat besar, yang mendorong seseorang tidak ingin melanggar aturan ade’. Perasaan malu apabila melakukan kesalahan, malu apabila harga diri disepelekan oleh orang lain, bahkan malu jika ditertawakan di depan orang banyak,[1] termasuk malu jika keturunan mereka menikah dengan orang yang berada di bawah derajat kebangsawanan mereka. Olehnya sistem kekerabatan di kalangan orang Bugis-Makassar terjaga dan sangat disakralkan. Menjadi suatu hal yang wajar dalam perkawinan seorang bangsawan Bugis, ketika pada tahap awal pengenalan keluarga mempelai pria kepada keluarga perempuan (ma’pesu-pesu) keluarga akan menelusuri nenek dari laki-laki melalui lontara.[2] Hal ini dilakukan untuk menjaga kemurnian darah kebangsawanan mereka.
  Besarnya konsekuensi yang didapatkan karena dipermalukan (ripakasiri) maupun mempermalukan membuat siri ini mengikat masyarakat dalam bertingkah-laku. Hal ini karena konsekuensi atas siri dapat menimbulkan suatu peristiwa berdarah (pembunuhan). Mereka yang melanggar pangngaderreng akan merasa malu dan terbuang dari masyarakat, bahkan apabila dianggap telah menodai pangngaderreng maka keluarga pelakupun akan ikut mendapatkan sanksi, seperti dikeluarkan dari daerah tempat tinggal (ripali). Sementara itu pelaku pelanggar pangngaderreng-pun akan mendapat sanksi besar dari pemangku adat, misalnya di hukum mati. Penjatuhan saksi ini biasanya dilakukan oleh arung atau kepala kampung sebagai salah satu pelaksana peradilan.
Pangngaderreng lahir sebagai bagian dari budaya masyarakat Sulawesi Selatan yang dijalankan tanpa ada unsur paksaan. Pangngaderreng ini sangat menjunjung persamaan dan kebijaksanaan. Inilah yang membedakan pangngaderreng dengan suatu adat kebiasaan. Apabila suatu adat kebiasaan, biasanya bersifat kesewenang-wenangan dan akhirnya diterima sebagai suatu dampak dari sistem sosial, maka pangngaderreng ini menentang adanya unsur kesewenang-wenangan tersebut, termasuk pemerkosaan, penindasan dan kekerasan. Pangngaderreng ini melekat sebagai bagian dari hakekat manusia, yang melahirkan satu unsur esensi di dalam diri yang dikenal sebagai siri’. Siri’ tidak lain merupakan cerminan martabat dan harga diri manusia. Olehnya orang Bugis, kemanapun pergi mengembara akan membawa pangngaderrengnya yang dilandaskan pada siri’ tersebut. Biasanya orang Bugis pantang pulang ke kampung halamannya sebelum sukses di pengembaraannya.[3]
Kesempurnaan pangngaderreng ini juga diperoleh dari ketaatan masyarakat terhadap pemimpinnya. Merasa memiliki dan berperan dalam proses pemilihan raja maupun menurunkan raja memuluskan terciptanya suatu demokrasi dalam masyarakat adat. Pengabdian masyarakat  terhadap pangngaderreng ini diwujudkan dalam suatu istilah yang dikenal dengan kasuwiyang.[4] Pengabdian ini dapat terbagi dalam dua bentuk yakni antara rakyat dengan pemimpinnya dan antara daerah taklukan dengan pemerintahan pusatnya. Biasanya keinginan mengabdi terhadap tuan ini muncul karena adanya pertolongan atau perlindungan yang diperoleh dari raja. Misalnya para panglima kerajaan biasanya melakukan ritual ma’ngaru[5] sebagai bentuk pengabdian dan rela mati untuk mempertahankan eksistensi kerajaannya.
Konsep pangngaderreng ini meliputi sistem norma, tata tertib dan aturan-aturan adat, yang mengatur tingkah laku setiap orang dalam lingkungan sosialnya. Sistem norma dan aturan-aturan adat  yang mengatur kehidupan orang Bugis ini kemudian dikenal dengan ade’. Di dalamnya terdapat tata tertib yang bersifat normatif  yang menjadi pedoman sikap hidup dalam menghadapi, menanggapi, dan menciptakan harmoni kehidupan.
Sistem pangngaderreng ini diatur dalam suatu sistem yang kuat yang saling mengikat, meliputi ade’(adat-istiadat), tentang bicara (peradilan), tentang rapang (pengambilan keputusan/kebijakan berdasarkan perbandingan dengan negara lain), tentang wari (sistem protokoler kerajaan) dan tentang sara (syariat islam). Sara ini merupakan aturan baru yang masuk dalam konsep pangngaderreng pascamasuknya Islam di Sulawesi Selatan .
Ade’ mengatur tata hidup dan tingkah laku setiap individu dalam bermasyarakat. Ada yang dikenal dengan ade puraonro yang kurang lebih merupakan suatu tingkah atau cara memperlakukan sesama di dalam masyarakat. Adat ini sudah ada dan berlaku secara turun temurun sehingga meninggalkannya akan dianggap telah meninggalkan ade’ atau sudah tidak  memiliki etika, misalnya ikwal tata cara peminangan. Ada juga yang dikenal dengan ade’ maraja, yang lahir dari suatu kebiasaan yang disepakati dan telah disahkan dalam suatu perjanjian yang dikenal dengan wari’.
Siapapun yang melanggar ketentuan pangngaderreng akan mendapatkan hukuman sesuai dengan apa yang telah diputuskan dalam bicara (sistem peradilan). Dalam bicara  ini akan dibahas masalah hak dan kewajiban setiap orang atau badan hukum dalam masyarakat. Bicara mengatur semua aktifitas maupun konsep yang berkaitan dengan peradilan. Unsur ini mengatur tingkah laku setiap orang atau badan hukum untuk berinteraksi secara timbal balik. Olehnya itu sangat erat kaitannya dengan keadilan hukum. Segala hal yang telah diputuskan dalam bicara hendaknya menjadi pembelajaran bagi setiap orang agar tidak melakukan kejahatan karena memelihara ade’ sama dengan memelihara keserasian. Dalam penjatuhan sanksi terhadap setiap pelanggar, bicara tidak boleh melakukan penundaan, karena membiarkan suatu kesalahan tanpa melakukan hukuman  diyakini akan menimbulkan kesukaran atau kesusahan bagi penguasa sendiri dalam hal ini raja. Termasuk apabila pelanggar pangngaderreng adalah seorang penguasa.
 Selanjutnya dalam proses pelaksanaannya masing-masing memiliki wewenang yang telah diamanahkan dari raja.  Di dalam urusan ade, rappang, bicara dan wari ini dilaksanakan oleh pampawa ade (pelaksana adat) sedangkan untuk urusan sara dikendalikan oleh parewa ade’ (perangkat syariat).  Parewa ade ini juga bertugas untuk menangani segala hal yang berhubungan dengan syariat Islam misalnya perkawinan, pewarisan dan sebagainya. Jadi pangngaderreng fungsinya sama dengan undang-undang dasar, pampawa ade dan parewa sara adalah pendamping dan pembantu raja dalam melaksanakan undang-undang yang telah ditetapkan oleh  perwakilan rakyat. Dalam hal ini di Bone dikenal dengan istilah ­ade pitu, di Gowa dikenal dengan bate salapang, Wajo dengan istilah arung patang puloe, dan di Luwu  dikenal dengan istilah ade aserae.
Setiap pelanggaran yang dilakukan oleh masyarakat adat akan mendapatkan sanksi sesuai dengan apa yang telah diputuskan dalam bicara. Hukuman tersebut dijatuhkan atas kesalahan yang dilakukan baik dengan ancaman hukuman mati dan lain-lain sesuai dengan berat-ringan kesalahannya.
Demikian, wasalam. (Jakarta: by andili2evita@gmail.com
)



[1]  H.J.Fridericy, De Raadsman, 1984 hlm 188-189, mengemukakan pengalamannya saat bertugas di sebuah rumah sakit di wilayah Bone-Tengah. Mereka diantar oleh controleur van Midden-Bone. Dalam salah satu zall rumah sakit, mereka mendapati dua puluh empat tempat tidur dan setiap tempat tidur terbaring seorang pasien yang luka. Keadaan para pasien sungguh menyedihkan. Kepala, lengan, paha serta dada pasien dibalut perban. Kontrolir melaporkan bahwa pasien yang terluka itu adalah korban amukan dalam sebuah perkawinan di Ujung Lamuru. Saat pesta telah usai seorang tamu terkentut dengan bunyi yang keras. Hampir semua tamu yang datang tertawa. Lalu orang yang terkentut menjadi sangat malu, dan di tempat  pesta yang telah usai tersebut, saat semua lampu telah padam orang tersebut mengamuk. Inilah salah satu bukti betapa besarnya nilai malu (siri) dalam masyarakat adat Bugis-Makassar. (disadur dari Laica Marsuki,”Siri Bagian Kesadaran Hukum Rakyat Bugis-Makassar”.hlm. 117-118).


[2]  Lontara’ merupakan buku berisi cerita kepemimpinan raja-raja lengkap dengan silsilah rajadan keturunannya.
[3]  Orang Bugis punya falsafah hidup dalam  melakukan  pengembaraan yaitu kulabuangngi lopi’ku ri bunge lettukku , jajipi nappa kulisu artinya kutenggelamkan kapalku disini, nanti ketika kapal telah selesai kubuat baru saya akan pulang. Maksudnya orang Bugis ketika sampai diperantauannya akan memulai hidup baru dari awal, nanti ketika ia telah berhasil dalam pekerjaannya. Baru kemudian mereka akan kembali ke kampungnya. Ini berkaitan dengan siri’ atau malu yang mereka bawa, malu apabila mereka tidak berhasil selama perantauannya.
[4] Edward L. Poelinggomang dalam bukunya Perubahan Politik & Hubungan Kekuasaan Makassar 1906-1942. hlm.75, mengutip pernyataan H.J. Friedericy bahwa  Kasuwiyang adalah prinsip-prinsip dan aturan-aturan dari tugas-tugas wajib, yang sebagaian bersifat ekonomi, keagamaan dan sosial. Oleh orang merdeka diberikan dalam bentuk tenaga kerja, hasil usaha atau uang demi kebutuhan pemerintah-pemerintah yang ditempatkan di atas mereka, di pihak lain juga bersifat politik yakni pemimpin diberikan benda-benda dan tenaga kerja demi kebutuhan pemimpin dan raja.
[5] Ma’ngaru merupakan penyataan sumpah dihadapan raja, dilakukan dengan duduk bertelungkup sembari menghunuskan keris ke atas  tanah lalu menyampaikan sumpahnya untuk setia dan rela mati demi menjaga kehormatan raja.

Komentar

  1. bagaimana pandangan dalam hukum adat pernikahan bugis jika 2 orang dengan latar belakang budaya berbeda menikah?

    BalasHapus
  2. suku bugis yang sedang pada masa pernikahan nya ini melakukan berbagi ritual dulu sperti yang sudah menjadi adat...


    http://www.marketingkita.com/2017/08/Manajemen-Sumber-Daya-Manusia-Dalam-Ilmu-Marketing.html

    BalasHapus
  3. apakah kedua mempelai dari suku dan adat yang berbeda bisa melaksanakan ritual adatnya dan apakah itu suatu keharusan

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

advokasi

1. Pengertian Advokasi Inggris: Advocacy = giving of public support to an idea, course of action or a belief. Definisi lama: bantuan hukum di persidangan Defenisi advokasi saat ini adalah : a. bantuan hukum b. penyuluhan hukum c. pemberdayaan hukum d. pendampingan masyarakat terhadap kebijakan public yang merugikan masyarakat Advokasi merupakan segenap aktifitas pengerahan sumber daya yang ada untuk membela, memajukan, bahkan merubah tatanan untuk mencapai tujuan yang lebih baik sesuai keadaan yang diharapkan. Advokasi dapat berupa upaya hukum formal (litigasi) maupun di luar jalur hukum formal (nonlitigasi). Menurut Mansour Faqih, Alm., dkk, advokasi adalah usaha sistematis dan terorganisir untuk mempengaruhi dan mendesakkan terjadinya perubahan dalam kebijakan publik secara bertahap-maju (incremental). Julie Stirling mendefinisikan advokasi sebagai serangkaian tindakan yang berproses atau kampanye yang terencana/terarah untuk mempengaruhi orang lain yang hasil akhirnya adalah untuk

Teori-teori kebudayaan

Teori-teori kebudayaan di Indonesia 1. Teori-teori kebudayaan di Indonesia Teori evolusi kebudayaan, terutama teori evolusi keluarga dari JJ. Bechofen, juga diterapkan terhadap aneka warna kebudayaan Indonesia oleh ahli Antropologi Belanda G.A Wilken (1847- 1891). Karangan-karangannya yang pertama sudah terbit sewaktu ia menjabat sebagai pegawai pangreh praja, yaitu mengenai sewa tanah dan mengenai adat pemberian nama di Minahasa (Wiklken 1873-1875), karangan etnoigrafi singkat dari pulau Baru(1875-a), tepi juga karangan-karangan teori tentang evolusi perkawinan dan keluarga berjudul Over de primitive Vormen van het huwelijk en de Oosprong van het Gezin (1880-1881), dalam karangannya yang terakhir ia menerangkan tingkat-tingkat evolusi bechofen mengenai promiskuitas, matriathhat, patriarkhat, dan keluarga parental yang terurai di atas, dengan banyak bahan contoh yang di ambil terutama dari Indonesia. Karangannya sesudah itu pada umumnya bersifat teori dan berpusat pada bahan-bahan etno