Mereka adalah orang-orang cerdas,
pintar, yang datang kepada kami untuk mengajari kami tentang peradaban yang
mulia. Mereka datang dan menganggap kami bodoh, dan tidak berbudaya, karena
pakaian kami yang hanya menutupi kemaluan dan bagian yang menonjol di tubuh
kami. Mereka datang, karena melihat kami yang baru 15 tahun menggendong seorang
bayi yang masih berbau ketuban di kebun. Mereka datang mengajari kami tentang
kesehatan reproduksi, karena melihat kami menggali lobang di hutan, untuk
melahirkan anak sendiri tanpa bantuan bidan, hanya berbekal sebilah bambu. Iya
mereka datang karena mereka menganggap kami punya kebudayaan yang salah, karena
setiap lelaki yang bukan suami kami datang menolong dan melihat kemaluan kami
akan didenda oleh ketua adat. Mereka datang, saat kami berjuang di antara nafas
terakhir kami. Iya mereka datang, karena ingin melindungi kami yang katanya
menjadi korban pernikahan anak. Inilah yang terjadi pada kami, dimana
sekolah-sekolah tak ada di sekitar kami,sejauh mata memandang hanya kebun
ladang ubi dan rumah-rumah gubuk rumbia.
Mereka orang pintar dan cerdas, yang ingin mengajari kami budaya. Budaya yang
tercipta atau diciptakan dari sulap, yang tidak pernah kami sadari apakah kami
salah dengan kebiasaan kami disini. Kami tak sekolah, karena memang tak ada
sekolah. Kami melahirkan di kebun, karena memang klinik tidak ada, dengan sepotong
bambu, karena pisau dan sejenisnya tak ada. Kami menikah, karena selain makan
dan menikah apalagi kebutuhan yang ada di depan mata?. Kami bukannya tidak punya
cita-cita, tapi pada siapa kami sandarkan??. Kami belajar, tapi guru kami
adalah alam, berbeda dengan kalian. Tak ada yang peduli pada kami, sementara
tetua hanya melaksanakan apa kebiasan nenek dahulu kala. Karena mengira kami bodoh. mereka datang dan
mengatakan kepada kami, ini dan itu yang semuanya terlihat salah.
Apakah kami salah karena kami ada dari tempat yang jauh dari sentuhan
pemerintah yang katanya kesatuan ini??, dari pendidikan dan sekolah gratis yang
mereka janjikan yang sedikitpun belum ada aroma tintanya. Jangan salahkan bapak
adat, jangan salahkan adat, jangan salahkan budaya kami jika kami seperti ini.
Karena ini adalah buah dari apa yang kami tahu, yang orang lain mengganggap kami
kasihan. Jika peduli, jangan salahkan apa yang kami punya sekarang. Karena
kalian datang pun tidak akan mengubah apa-apa, jika cuma sekedar melirik dan
berkata miris. Lalu pergi, dengan rasa kasihan yang tak usai.
Sebuah
refleksi di perayaan hari perempuan internasional Selasa 8 Maret 2016. Suara
anak di batas NKRI, yang direfleksikan oleh seorang pemerhati sejarah dan
budaya.
Komentar
Posting Komentar