Langsung ke konten utama

Jejak Kesultanan Buton

KESULTANAN BUTON
Kesultanan Buton diperkirakan berdiri sekitar awal abad ke-15 yang didirikan oleh empat orang pendatang dari Johor. Mereka adalah Sipanjonga, Simalui, Sitamanajo dan Sijawangkati. Keempatnya oleh masyarakat Buton dikenal dengan sebutan “mia patamiana”. Dari keturunan merekalah asalnya pemuka adat yang disebut siolimbona atau sembilan menteri yang merupakan dewan legislatif, baik itu ketika sistem pemerintahan Buton masih berbentuk kerajaan maupun ketika sudah berubah menjadi kesultanan. Selanjutnya, dewan siolimbona itu yang kemudian memegang peranan penting dalam hal mencalonkan, memilih, mengangkat ataupun memecat raja/sultan.
Menurut tradisi lisan yang berkembang dalam masyarakat, dikisahkan bahwa raja pertama Buton adalah seorang perempuan bernama Wa Kaa Kaa yang konon muncul dari rumpun bambu yang dalam bahasa setempat dikenal dengan nama Mo Betena yi Tombula. Hal serupa juga ditemukan dalam tradisi lisan kerajaan-kerajaan lainnya di Sulawesi Tenggara seperti di Muna dikenal dengan nama Beteno ne Tombula (orang yang muncul dari bambu tolang), di Tiworo dikenal dengan nama Mobotena i Paria (orang yang muncul dari bambu pering) dan di Kabaena dikenal dengan nama Tebota tula Nggadi (orang yang muncul dari bambu gading).
1. Awal Mula Penggunaan Nama Buton
Untuk penyebutan nama Buton itu sendiri, terdapat bermacam-macam kata yang digunakan dalam penyebutannya. Menurut Zuhdi, bangsa Belandalah yang menyebut nama Buton seperti yang dikenal hingga saat ini. Sementara itu, Ligtvoet dalam tulisannya mengenai Buton juga menulis tentang penggunaan nama Buton bahwa Negeri Buton dalam bahasa setempat disebut Bolijo (Wolio), dalam bahasa Melayu disebut Buton sedangkan dalam bahasa Makassar dan bahasa Bugis disebut Butung.
Hal tersebut di atas memperlihatkan bahwa penyebutan nama Buton menjadi bermacam-macam yang disesuaikan dengan dialek bahasa tertentu seperti bahasa melayu ataupun bahasa daerah. Sedangkan menurut tradisi lokal, nama Buton atau “Butun” berasal dari kata Butu yakni nama sejenis tanaman yang banyak tumbuh di pesisir pantai pulau Buton dengan nama latin (Barringtonia Asiatica). Penyebutan tersebut dipergunakan oleh para pelaut di kepulauan Nusantara yang singgah di pulau ini. Hal ini dapat dipahami karena dahulu perairan pulau Buton merupakan salah satu jalur pelayaran bagi para pedagang yang melakukan pelayaran dan perdagangan menuju ke Kepulauan Rempah-Rempah (Maluku).
Dalam kitab Negara Kartagama karangan Mpu Prapanca yang ditulis pada tahun (1329 M) dalam pupuh XIV, terdapat pula nama Buton yang disebutkan bersama-sama dengan pulau-pulau lainnya di Nusantara seperti Makassar, Banggawi, Selayar, Sumba, Ambon serta sejumlah pulau-pulau lain yang merupakan wilayah kekuasaan Kerajaan Majapahit saat itu.
Setelah pengislaman, berkembang pula mitos mengenai asal mula nama Buton yang diyakini bahwa nama Buton berasal dari bahasa Arab Butn atau Bathni atau Bathin yang berarti “perut” atau “kandungan”.
Selain nama “Buton”, nama “Wolio” juga dipergunakan dalam penyebutan kesultanan ini. Dalam hikayat Sipanjonga dikisahkan bahwa penyebutan kata itu berawal dari kegiatan “mia patamiana” (si empat orang) yang membuka lahan di wilayah ini dengan membabat rumput yang dalam bahasa setempat disebut “welia”. Dari kata “welia” ini kemudian muncullah nama “Wolio”. Kata ini dipergunakan oleh masyarakat Buton untuk menyebutkan daerah yang merupakan pusat pemerintahan Kesultanan Buton.
2. Hubungan Pemerintahan Kesultanan Buton
Kesultanan Buton mempunyai daerah-daerah yang disebut sebagai wilayah kadie yang berjumlah 72 bagian. Dari 72 kadie tersebut, terdapat 70 wilayah kadie yang riil, sedangkan dua bagian kadie lainnya hanyalah merupakan simbol yang menandakan dua golongan merupakan pemimpin dalam kesultanan yakni golongan kaomu dan golongan walaka.
Golongan kaomu dan walaka menamakan diri mereka sebagai orang Wolio sedangkan golongan papara dan batua merupakan golongan yang bukan termasuk orang Wolio. Dua golongan yang disebutkan pertama di atas menganggap bahwa mereka memiliki asal usul keturunan yang jelas. Golongan kaomu merupakan keturunan dari raja-raja Buton sedangkan golongan walaka merupakan keturunan dari para pendiri (founding father) Kerajaan Buton, dan sebaliknya golongan papara dan batua merupakan golongan yang tidak memiliki asal usul keturunan yang jelas
Setiap wilayah kadie yang ada berkewajiban untuk membayar upeti (weti) pada setiap tahunnya kepada pusat kesultanan sesuai dengan besarnya upeti yang telah ditentukan.
Selain hubungannya dengan wilayah kadie, Kesultanan Buton juga mempunyai hubungan dengan wilayah barata sebagai basis pertahanan kesultanan. Hubungan antara Kesultanan Buton dengan wilayah barata memperlihatkan pola hubungan struktural yang mempunyai peran dan fungsinya masing-masing, dimana barata sebagai daerah bawahan harus tunduk dan patuh kepada Kesultanan Buton sebagai pusat pemerintahan. Wilayah barata, selain berkewajiban untuk melindungi Kesultanan Buton dari serangan musuh, juga berkewajiban untuk membayar upeti (weti) setiap tahunnya pada pusat Kesultanan. Upeti tahunan tersebut dinamakan jawana yang merupakan pajak yang harus dibayarkan bagi utusan Kesultanan Buton yang akan ke Jawa (Batavia).
Hubungan antara Kesultanan Buton dengan Kesultanan Ternate pada masa itu lebih pada hubungan perkawanan yang sebelumnya Kesultanan Buton merupakan daerah vasal Kesultanan Ternate. Namun pada saat itu, kekuasaan Kesultanan Ternate melemah pasca penyerangan Spanyol. Selain itu, hubungan yang dibangun oleh Kesultanan Ternate dengan VOC yang pada saat itu bersekutu untuk melawan Makassar, juga turut mempengaruhi hubungan Kesultanan Buton dengan Kesultanan Ternate menjadi hubungan perkawanan. Sedangkan hubungan Kesultanan Buton dengan Kerajaan Makassar justru merupakan hubungan perlawanan. Hal ini sebagai akibat dari politik perluasan wilayah Kerajaan Makassar yang ingin memperluas wilayah kekuasaannya ke wilayah timur Nusantara termasuk pula pada wilayah Kesultanan Buton yang berada dijalur pelayaran dan perdagangan menuju ke Kepulauan Rempah-Rempah.
Kesultanan Buton juga menjalin hubungan dengan VOC. Pada masa pemerintahan Sultan Dayanu Ikhsanuddin, hubungan antara Kesultanan Buton dan VOC merupakan hubungan yang terjadi untuk pertama kalinya. Hal ini sebagai akibat dari kondisi eksternal yang ada pada saat itu dengan hadirnya Kerajaan Makassar sebagai suatu kekuatan politik yang sedang menanjak khusunya di wilayah timur Nusantara kemudian berambisi untuk menguasai wilayah kekuasaan Kesultanan Buton. Setelah sebelumnya Kesultanan Buton merasa terancam oleh Ternate yang semakin memperluas wilayah kekuasaannya hingga ke wilayah Kesultanan Buton. Namun pada saat itu kekuasaan Kesultanan Ternate melemah sebagai akibat dari serangan Spanyol. Hal inilah yang kemudian mendorong Sultan Dayanu Ikhsanuddin untuk menjalin hubungan persahabatan dengan VOC karena sultan menyadari bahwa kekuatan-kekuatan besar yang muncul pada saat itu tidak mungkin untuk dihadapinya sendiri. Peluang yang ditawarkan oleh VOC untuk mengadakan persahabatan kemudian dimanfaatkan oleh Sultan dalam menghadapai kekuatan-kekuatan yang akan mengancam eksistensi wilayah kekuasaannya.
Adanya perjanjian persahabatan tersebut pada satu sisi berdapak positif pada Kesultanan Buton karena setidaknya dengan adanya perjanjian tersebut, Kesultanan Buton merasa agak sedikit aman karena berada dalam perlindungan kompeni Belanda yang sewaktu-waktu dapat dimintainya pertolongan untuk melawan serangan-serangan besar dari pihak musuh. Selain itu, dari perjanjian ini Sultan dan warganya juga diberi kebebasan untuk memeluk agama serta menjalankan pemerintahannya sendiri. Namun disisi lain, perjanjian persahabatan antara Kesultanan Buton dan VOC tersebut juga berdampak negatif bagi Kesultanan Buton dengan adanya beberapa ketentuan seperti mengenai perdagangan budak yang disisi lain dapat memperlemah kesultanan karena mengurangi sumber daya manusia di wilayah Kesultanan Buton. Juga dibolehkannya wanita Kesultanan Buton untuk menikah dengan Kompeni Belanda dan mengikuti agama suaminya. Selain itu, juga terdapat ketentuan mengenai pajak yang tidak berlaku bagi Kompeni Belanda yang mengadakan perdagangan di Buton. Dari segi ekonomi, jelas hal ini merugikan Kesultanan Buton karena pajak perdagangan merupakan salah satu sumber penghasilan ekonomi kesultanan.
3. Masa Pemerintahan Sultan Dayanu Ikhsanuddin (1597-1631)
Selain beberapa hal sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, pada masa pemerintahan Sultan Dayanu Ikhsanuddin, terjadi banyak perubahan dalam Kesultanan Buton. Perubahan-perubahan tersebut diantaranya adalah dengan dibuatnya undang-undang Martabat Tujuh sebagai undang-undang kesultanan. Disebut sebagai undang-undang Martabat Tujuh karena struktur kekuasaan yang diatur dalam undang-undang ini didasarkan pada tujuh tingkatan sebagaimana yang terdapat dalam ajaran sufi mengenai adanya tingkatan kehidupan (martabat). Pembuatan undang-undang ini dilatarbelakangi oleh kondisi internal yang terjadi pada saat itu untuk menciptakan adanya keteraturan serta kondisi yang stabil dalam lingkungan masyarakat Kesultanan Buton, sehingga Sultan kemudian memberlakukan adanya undang-undang yang mengatur seluruh tatanan kehidupan dalam pemerintahan di Kesultanan Buton.
Selain pembuatan undang-undang Martabat Tujuh, pada masa pemerintahan Sultan Dayanu Ikhsanuddin, Sultan juga melengkapi kabinetnya dengan mengadakan beberapa jabatan baru dalam struktur pemerintahan kesultanan. Jabatan tersebut antara lain adalah jabatan juru tulis yang pada saat itu dijabat oleh Dayanu Ikhsanuddin sendiri, jabatan kapitalao yang diperuntukkan sebagai kepala ketentaraan, juga terdapat jabatan bonto ogena sebagai pengganti jabatan tunggu weti yang dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan keadaan pada masa itu dikarenakan oleh banyaknya pelanggaran-pelanggaran yang ditemukan dan hal ini membawa kerugian besar pada kondisi ekonomi kesultanan. Sehingga Sultan kemudian menghapuskan jabatan tersebut lalu menggantinya dengan jabatan baru yang dianggap lebih efisien dalam menangani masalah perpajakan dalam Kesultanan Buton.
Dalam masa ini juga dibuat undang-undang yang mengatur mengenai keberadaan wilayah barata. Hal ini dikarenakan oleh kondisi eksternal Kesultanan Buton pada saat itu yang berada diantara beberapa kekuatan besar yaitu Kerajaan Makassar dan Kesultanan Ternate. Sehingga adanya perlakuan khusus terhadap wilayah barata sebagai basis pertahanan Kesultanan Buton kemudian di anggap penting. Untuk itu, dibuatlah undang-undang Sarana Barata yang mengatur segala kewajiban bagi semua wilayah barata yang ada.





Daftar Pustaka
Hamid, Abd. Rahman.2010. Spirit Bahari Orang Buton. Makassar : Rayhan Intermedia
Poelinggomang, Edward L. 2003. Makassar Abad XIX : Kajian Tentang Kebijakan Perdagangan Maritim. Jakarta : Kepustakaan Popular Gramedia.
Ricklefs. M. C. 1999. Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press
Mulku,Fifi Zahari,2009.Skripsi Masa Pemerintahan Sultan Dayanu Iksanuddin: Universitas Hasanuddin







Komentar

  1. ada bahan tentang kerajaan buton? mohon kabari ya.trims...

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya ada, tapi hanya terbatas buku-buku di atas Pak. Kalau Bapak ingin diskusi mengenai kerajaan Buton coba link di blog ini Pak http://rabani7.blogspot.co.id/ atau https://www.facebook.com/abdul.pasca?fref=ts.

      terima kasih

      Hapus
  2. Casino Table Games - MapyRO
    MapyRO Casino Table 부산광역 출장안마 Games offers players 태백 출장샵 two options to 포항 출장샵 try 아산 출장마사지 out: a live score (CIB) and 구미 출장안마 a cash-out (BAC). The live score is $50. For example, the players can wager $20.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hukum Adat di Sulawesi Selatan

Warisan hukum yang tertua di Indonesia adalah hukum adat , maka di Sulawesi Selatan inipun dikenal satu sistem adat yang disebut sistem pangngaderreng atau pangngadakkang . Sistem ini mengatur mereka hampir di seluruh aspek kehidupan. Mulai dari  adat-istiadat, politik, agama, sosial dan hukum. Sistem pangngaderreng ( pangngadakkang ) ini mengakar dalam hati tiap orang karena terlahir dari proses budaya yang panjang. Olehnya dalam penerapannya masyarakat menjalankannya karena kesadaran yang hadir dalam diri mereka, bukan karena suatu kewajiban atau paksaan. Orang Bugis-Makassar menaati aturan-aturan ini dan yang melanggarnya akan mendapat hukuman. Hukuman yang diberikanpun berbagai macam, ada yang mendapatkan semacam hukuman fisik dan moral sesuai dengan tingkat pelanggaran mereka terhadap pangngaderreng. Ketaatan mereka terhadap panggaderreng dilandaskan pada siri na passé yang mereka pegang kokoh. Siri ini merupakan suatu perasaan malu yang sangat besar, yang mendorong ses

advokasi

1. Pengertian Advokasi Inggris: Advocacy = giving of public support to an idea, course of action or a belief. Definisi lama: bantuan hukum di persidangan Defenisi advokasi saat ini adalah : a. bantuan hukum b. penyuluhan hukum c. pemberdayaan hukum d. pendampingan masyarakat terhadap kebijakan public yang merugikan masyarakat Advokasi merupakan segenap aktifitas pengerahan sumber daya yang ada untuk membela, memajukan, bahkan merubah tatanan untuk mencapai tujuan yang lebih baik sesuai keadaan yang diharapkan. Advokasi dapat berupa upaya hukum formal (litigasi) maupun di luar jalur hukum formal (nonlitigasi). Menurut Mansour Faqih, Alm., dkk, advokasi adalah usaha sistematis dan terorganisir untuk mempengaruhi dan mendesakkan terjadinya perubahan dalam kebijakan publik secara bertahap-maju (incremental). Julie Stirling mendefinisikan advokasi sebagai serangkaian tindakan yang berproses atau kampanye yang terencana/terarah untuk mempengaruhi orang lain yang hasil akhirnya adalah untuk

Hukum Laut Amannagappa

Di dalam hukum laut dan pelayaran Amannna Gappa memuat dua puluh satu pasal, merupakan penyempurnaan dari Muhammad Ibnu Badwi yang ditulis ketika berada di Gresik. Adapun isi dari tiap-tiap pasal tersebut yaitu : Pasal Pertama Menjelaskan tentang sewa bagi orang-orang yang berlayar dan berdagang, antara lain seseorang yang berlayar atau berdagang dari Makassar Bugis, Paser, Sumbawa, Kaili Menyu Ace, Kedah, Kamboja, maka sewanya tujuh rial dari tiap-tiap seratusnya. Maka uang yang digunakan saat itu adalah rial merupakan mata uang yang juga dibawa oleh para pedagang. Barang-barang saat itu dari tiap jenisnya itu selalu dianggap 100 %, hal ini berarti bahwa orang-orang dahulu telah menerapkan sistem persenan dalam tiap kegiatan dagang. Selanjutnya, jika para pedagang naik perahu dari Aceh, Kedah, Kamboja menuju Malaka, ke Johor Tarapuo, Jakarta, Palembang, Aru, maka sewa dikenakan enam rial dari tiap seratus persen barang. Sementara itu jika orang naik perahu ke s