Dalam diskursus akademik, sejarah dan politik kerap dipandang sebagai dua ranah yang berbeda. Sejarah diposisikan sebagai rekaman objektif masa lalu, sementara politik dilihat sebagai arena kekuasaan yang sarat kepentingan. Namun, dalam praktiknya, batas antara keduanya sering kali kabur. Sejarah tidak hanya mencatat apa yang terjadi, melainkan juga dipilih, dikonstruksi, dan dikisahkan berdasarkan kepentingan tertentu yang tidak jarang merupakan kepentingan politik.
Michel Foucault dalam karyanya Power/Knowledge (1980) menyatakan bahwa pengetahuan selalu terkait dengan relasi kuasa. Dalam konteks ini, sejarah sebagai bentuk pengetahuan tidak dapat dilepaskan dari kepentingan-kepentingan politik yang membentuknya. Narasi sejarah yang dominan sering kali mencerminkan suara pihak yang berkuasa, sementara narasi alternatif yang tidak sejalan dengan kepentingan politik akan diredam, diabaikan, atau bahkan dihapus dari ingatan kolektif.
Hal ini ditegaskan pula oleh Hayden White (1973), yang menunjukkan bahwa sejarah bukan sekadar penyajian fakta, melainkan narasi yang dibentuk oleh pilihan bahasa, struktur, dan sudut pandang. Sejarawan, sadar atau tidak, membawa ideologi tertentu dalam proses penulisan sejarah. Maka dari itu, sejarah tidak pernah sepenuhnya netral atau bebas nilai.
Dalam konteks negara-bangsa, Benedict Anderson (1991) menyebut bahwa komunitas nasional adalah "komunitas terbayang" yang dibentuk melalui perangkat budaya, termasuk narasi sejarah. Sejarah digunakan untuk menciptakan identitas kolektif yang mendukung legitimasi politik negara. Ketika sejarah dapat memperkuat proyek politik tertentu, keduanya menjadi sangat erat. Namun, ketika narasi sejarah bertentangan dengan kepentingan kekuasaan, maka sejarah dianggap sebagai ancaman.
Dengan demikian, relasi antara sejarah dan politik bersifat dialektis: keduanya saling memengaruhi dan tidak dapat dipisahkan. Sejarah bukan hanya cermin masa lalu, tetapi juga alat untuk memaknai dan mengarahkan masa kini dan masa depan. Kesadaran akan dimensi politik dalam konstruksi sejarah penting untuk menjaga kritisisme kita terhadap narasi-narasi sejarah yang dominan, sekaligus membuka ruang bagi narasi tandingan yang selama ini terpinggirkan.
Penulisan Sejarah Nasional: Antara Ilmu dan Kepentingan
Penulisan sejarah nasional sering kali menjadi cermin bagaimana kekuasaan membentuk narasi masa lalu. Ia tidak hanya berfungsi sebagai sarana pendidikan, tetapi juga sebagai alat ideologis untuk membangun identitas kolektif bangsa. Dalam konteks Indonesia, sejarah nasional mulai disusun secara sistematis pada masa Orde Baru, di mana negara berperan aktif dalam menentukan narasi resmi sejarah yang sejalan dengan ideologi pembangunan dan stabilitas politik.
Dalam kerangka ini, politik menentukan siapa yang dikenang dan siapa yang dilupakan. Tokoh, peristiwa, dan wilayah yang dianggap mendukung narasi nasional akan mendapat ruang besar dalam buku teks dan kurikulum, sementara yang tidak sejalan termasuk perlawanan lokal atau keragaman interpretasi sejarah sering kali disingkirkan atau disederhanakan.
Seperti yang dikatakan oleh sejarawan Pramoedya Ananta Toer, "Bangsa yang tidak tahu sejarah adalah bangsa yang hilang ingatan." Tetapi ingatan itu sendiri sering kali dibentuk oleh kuasa bukan hanya oleh fakta. Maka, sejarah nasional bukan hanya persoalan akademik, tapi juga politik representasi: siapa yang berhak bicara atas nama masa lalu bangsa?
Dengan merujuk pada Foucault dan Anderson, kita bisa memahami bahwa sejarah nasional adalah hasil dari relasi kuasa dan proyek “imajinasi kolektif.” Maka dari itu, membaca sejarah nasional secara kritis adalah cara untuk menyadari bahwa narasi sejarah selalu bisa dinegosiasi, direvisi, dan diperkaya dengan suara-suara yang selama ini dikesampingkan.
Menulis Ulang Sejarah Nasional: Polemik dan Kuasa di Tahun 2025
Tahun 2025 menjadi momentum penting dalam diskursus sejarah nasional Indonesia. Wacana penulisan ulang sejarah nasional kembali mengemuka, seiring dengan perubahan kepemimpinan nasional dan meningkatnya kesadaran publik akan pentingnya narasi sejarah yang lebih inklusif dan representatif. Banyak pihak, baik dari kalangan akademisi, budayawan, hingga komunitas lokal, mulai mempertanyakan: sejarah nasional yang seperti apa yang ingin kita wariskan?
Dalam konteks ini, hubungan antara sejarah dan politik kembali menjadi sorotan. Seperti yang dikemukakan Michel Foucault, pengetahuan tidak pernah netral; ia selalu berada dalam jaringan kuasa. Hal yang sama berlaku dalam sejarah nasional. Apa yang disebut "sejarah bangsa" pada hakikatnya adalah narasi yang dipilih dan dikukuhkan oleh kekuasaan untuk membentuk memori kolektif, mengatur arah pendidikan, serta menjaga legitimasi.
Polemik penulisan sejarah nasional di tahun 2025 muncul karena banyak pihak menilai narasi sejarah resmi Indonesia selama ini terlalu Jawa-sentris, terlalu elitis, dan terlalu negara sentris. Sejarah lokal, peran perempuan, masyarakat adat, kelompok minoritas, serta narasi-narasi tandingan dari daerah seperti Maluku, Papua, Kalimantan, Sulawesi, dan Nusa Tenggara sering kali dipinggirkan. Proyek sejarah nasional versi lama cenderung menampilkan bangsa sebagai satu entitas homogen, padahal kenyataannya Indonesia adalah mosaik kultural dan sejarah yang sangat kompleks.
Tuntutan untuk menulis sejarah nasional yang lebih plural bukan sekadar permintaan akademik, tetapi juga bagian dari proses demokratisasi ingatan. Sebagaimana dikemukakan Benedict Anderson, bangsa adalah "komunitas terbayang" yang dibentuk lewat narasi termasuk sejarah. Maka dari itu, siapa yang punya kuasa atas narasi sejarah, juga punya kuasa atas bayangan masa lalu dan arah masa depan bangsa.
Pertanyaannya sekarang: apakah penulisan sejarah nasional tahun 2025 akan memberi ruang bagi suara-suara yang selama ini dibungkam? Ataukah proyek sejarah nasional akan kembali menjadi alat kekuasaan yang menyatukan melalui penghapusan keragaman?
Jika sejarah nasional masih ditulis hanya untuk menguatkan narasi resmi negara tanpa membuka ruang diskusi kritis, maka kita hanya akan mengulang pola lama: sejarah sebagai instrumen kekuasaan, bukan refleksi dari memori kolektif bangsa yang sesungguhnya.
Mampukah para sejarawan yang terlibat terlepas dari jaringan kuasa? (A.L.E Senin, 16 Juni 2025)
Komentar
Posting Komentar